Wawancara Dimas “Dejet” Surya Rizki Tentang Shoutcasting Esports Indonesia
article-banner
Wawancara Dimas “Dejet” Surya Rizki Tentang Shoutcasting Esports Indonesia
Yasser Paragian
Jul 31,2018
share
like

Jika kamu mengikuti scene esports sejak lama, kamu mungkin tahu Dimas “Dejet” Surya Rizki. Ia mulai dikenal sebagai caster Dota 2 dan menghibur penonton Indonesia di berbagai turnamen, onlin ataupun LAN, lokal ataupun taraf internasional. Bisa dibilang, ia adalah salah satu shoutcaster yang cukup senior di scene esports Indonesia saat ini.

Saat ini, Dejet bekerja sebagai Creative Director di Supreme League sambil tetap menjadi caster tidak hanya Dota 2 tapi juga berbagai game esports lain. Selain itu ia juga mulai muncul sebagai host di meja panel turnamen. Sebelum artikel ini diturunkan misalnya, ia adalah host di turnamen Mobile Legends Southeast Asia Championship 2018.

Sebagai caster dan talent yang cukup senior, kami mewawancara Dejet untuk menanyakan pendapatnya tentang dunia shoutcasting di Indonesia saat ini.

1. Kapan pertama kali kamu bekerja sebagai caster dan di mana saja?

Saya mencoba dunia shoutcasting dari 2014. Awalnya karena dorongan teman-teman yang butuh pemandu acara. Karena ketagihan jadi ditekuni. Waktu itu jadi shoutcaster di kantor dunia esports pertama saya yaitu di Digitalife Nusantara

2. Sejak tidak lagi bersama dengan Ligagame, kamu sudah bekerja di tiga studio yang berbeda (MGS Production, AGe Network, dan sekarang Supreme League). Apa yang membuat kamu harus berpindah tempat beberapa kali?

Sebenarnya tidak ada alasan yang besar sih. Kalau keluar dari Ligagame waktu itu pengen coba keluar dari zona nyaman. Kalau keluar dari MGS Production karena memang sudah tidak sejalan lagi dengan visi misi CEOnya waktu itu. Kalau keluar AGe Network lebih karena ingin lebih banyak waktu sama keluarga, tapi tempat kerja terlalu jauh.

3. At one point, kamu juga sempat menjadi host, misalnya di Indonesia Games Championship 2018. Mengapa? Apakah ingin mencoba hal baru, atau kamu tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi caster di sana?

Kalau itu, setelah sekian lama menggeluti dunia shoutcasting di Indonesia, saya sadar di bahwa sebenernya saya merasa bisa membawa suasana sebuah acara Esports. Dan yes, seperti yang ditanyakan saya memulainya di IGC 2018.

wawancara-dimas-dejet-2

4. Hingga hari ini, game apa saja yang pernah kamu cover, baik sebagai caster atau host?

Sejauh ini saya sudah mencoba Dota 2, Counter-Strike:Global Offensive, Mobile Legends, Crisis Action, Arena of Valor, Vainglory, dan Heroes of The Storm. Yang belum kesampaian cuma jadi host atau caster acara esports basket hahaha.

5. Dibandingkan beberapa tahun lalu, scene esports di Indonesia jauh berubah. Jumlah audiens dan turnamen bertambah. Lalu yang paling penting, judul game yang digemari oleh audiens juga makin banyak. Bagaimana perkembangan ini mempengaruhi ekosistem/scene caster di Indonesia, terutama untuk kamu yang termasuk cukup lama berada di scene ini?

Kalau ngomongin perkembangan untuk scene caster sebenernya sangat lambat ya. Kenapa? Karena mungkin para EO masih lebih percaya dengan nama-nama lama yang sudah memiliki jam terbang tinggi dibanding dengan nama nama baru. Akibatnya caster baru dan rookie jarang muncul ke permukaan.

Tapi bukan berarti tidak ada kesempatan buat nama nama baru. Hanya perlu One BIG Show buat nama baru buat akhirnya dikenal.

6. Banyaknya judul/game esports baru memberikan ruang untuk caster baru. Namun beberapa caster juga memutuskan untuk pindah atau “branching out” ke game yang lain. Sebagai seorang yang pernah membawakan lebih dari satu game, sesulit apa sih mempelajari game baru sampai kamu merasa bisa membawakan dan membahasnya dengan baik?

Sulit atau tidaknya sebenernya balik ke Individu masing-masing. Seberapa besar keinginan sih calon shoutcaster ini untuk belajar. Secara pribadi saya suka banget belajar hal baru, baik itu hal-hal di depan atau pun di balik layar. Karena itu saya merasa semakin banyak game yang harus saya cover dalam satu acara, semakin menantang pekerjaannya.

Kalau membahas kesulitan dalam proses belajarnya, sebenarnya tinggal tahu competitive scene dan ekosistem game tersebut. Banyak sih poin yang harus diketahui sebelum cast.

wawancara-dimas-dejet-1

7. Jika dilihat dari sisi EO/TO/Studio, seberapa mudah sih mencari caster saat ini? Apakah caster pool di Indonesia saat ini sudah cukup luas dan dalam? Kadang saya mendengar ada yang kesulitan mencari caster atau mengeluh minimnya caster pool di Indonesia. Benarkah?

Benar banget. Memilih dan mencari caster masih sangat sulit dengan berbagai macam alasan tentunya. Mulai dari “caster ini kan sudah di Studio ini” bahkan sampai karena memang pekerjaan utama si talent atau caster ini bukan di dunia esports, dan pekerjaan itu sudah menyita waktu mereka masing-masing sehingga tidak bisa menjadi talent atau caster secara full time atau dalam jadwal yang diinginkan.

8. Berkaitan dengan pertanyaan di atas, bagaimana dengan regenerasi di level amatir/rookie? Kita pernah melihat caster amatir/rookie yang sempat muncul namun kemudian hilang begitu saja. Bahkan setelah diberi exposure seperti melalui Caster Academy sekalipun, tidak semuanya bertahan. Mengapa?

Balik ke poin yang saya singgung sebelumnya. EO pada akhirnya bergantung pada jam terbang, kemudian fanbase dari caster atau talent tersebut. Karena pada akhirnya EO ingin acaranya ramai dengan menggaet nama-nama lama yang sudah memiliki fanbase masing-masing untuk mendatangkan.

Pada saat yang sama ada juga alasan di mana si caster rookie ini yang sudah kalah mental duluan. Merasa tidak dipandang karena mungkin mereka sendiri kurang berusaha menjual diri mereka di scene esports Indonesia. Padahal sebenernya di luar sana ada cukup banyak turnamen dari berbagai cabang esports yang sedang booming di indonesia dan membutuhkan caster, termasuk turnamen level menengah yang bisa jadi ajang latihan.

9. Apakah menjadi caster esports di Indonesia saat ini bisa menjadi karir dengan penghasilan yang cukup?

Jawabannya tidak. Ini yang selalu saya pesankan ke teman-teman calon caster baru. Di kantor kantor esports atau esports production house tidak ada posisi murni sebagai shoutcaster.

Kalian tidak bisa cuma jadi caster. Karena kalau saat itu tidak ada game yang di-cover, di kantor mau ngapain? Nonton Youtube? Scroll Facebook? Jadi menurut saya kalau kalian punya basic skill yang sama seperti orang-orang di kantor pada umumnya, baru bisa deh bilang bekerja di dunia esports bisa menjanjikan.

Saya sendiri misalnya, tidak cuma semata mata jadi Shoutcaster doang. Daily work saya adalah Creative Director yang harus memikirkan konten macam apa yang akan keluar untuk Production house gw nantinya.

10. Jika memang bisa menjadi karir dengan penghasilan yang cukup, what does it take to get there? In prettier words, apa yang harus dilakukan oleh seorang rookie agar bisa menjadi seperti Dejet 😉

Hahahaha Bisa aja nih.

Hard work. Karena hardwork defeats talent. Jangan berhenti mencoba untuk dilihat. Jangan minder dengan nama-nama senior. Kita bukan takut diambil kerjaannya. Malah kita para senior-senior mau ada yang gantiin dalam beberapa tahun ke depan. UDAH SIBUK SAMA ANAK SEMUA NIH!

Baca juga: Wawancara Abraham “Xiam Phu” Simanjuntak, shoutcaster League of Legends Indonesia

Artikel Terkait

Tags:
Serba-Serbi EsportsWawancara