Perkembangan dunia esports kini semakin berkembang di Indonesia. Seiring perkembangannya, profesi dalam dunia esports pun bermunculan, salah satunya adalah shoutcaster.
Setiap pertandingan dalam turnamen besar tentu tidak lepas dari kehadiran shoutcaster yang biasanya dianggap sebagai pengisi atau komentator jalannya pertandingan agar pertandingan tersebut lebih seru saat ditonton. Shoutcaster itu sendiri dibagi menjadi dua peran yang berbeda, main caster dan co-caster. Akan tetapi, apa perbedaan peran keduanya?
Untuk menjawab hal-hal tersebut, beberapa waktu yang lalu kami mewawancarai seorang co-caster yang sudah berkiprah di game League of Legends selama satu tahun dan tentu tidak asing bagi kalian yang sering mengikuti scene kompetitif League of Legends. Dia adalah Abraham “Xiam Phu” Simanjuntak atau biasa juga dipanggil Abi.
Yang menarik adalah, sebelum menjadi caster League of Legends, Xiam Phu rupanya tidak tahu sama sekali mengenai casting atau scene esports baik di Indonesia ataupun dunia. Bahkan dirinya juga tidak mengetahui nama liga League of Legends yang ada di indonesia. Ia juga hanya bermain League of Legends melawan bot, dan League of Legends sendiri merupakan game genre MOBA pertama baginya. Lantas, bagaimana awal mula karirnya hingga bisa berkarir menjadi caster?
Berawal dari Pertemuan dengan Soapking
Tidak pernah terbayang sama sekali di benak Xiam Phu, dirinya akhirnya berkarir di dunia shoutcasting apalagi di game League of Legends. Yap, keseharian Xiam Phu dulunya adalah hanya teman warnet Ericko “Soapking” Lim dan datang ke warnet hanya sekedar bermain game Facebook dan Dragon Nest. Tidak hanya itu, Xiam Phu dulunya bahkan bekerja sebagai institut gereja di bidang logistik, jauh dari yang namanya shoutcasting atau esports.
Awal mula kiprahnya di dunia shoutcasting berawal ketika Soapking mengajaknya untuk mencoba pekerjaan sebagai shoutcaster. Kebetulan, Garena Indonesia saat itu sedang mencari shoutcaster pertandingan League of Legends Garuda Series untuk weeekdays alias hari kerja. Tertarik dengan hal itu, Xiam Phu kemudian mengikuti trial bersama dengan Soapking yang diadakan di kantor Garena Indonesia pada tahun 2016 lalu.
“I Know nothing. Jadi awalnya itu sebelum aku dan Soapking pergi ke sana, dia kasih tahu kalau kita dateng kesana buat nge-cast. Nge-cast itu berarti ada pertandingan yang ditayangkan, setelah itu kita bahas poin-poin yang pengen kita kasih tahu ke penonton. Itu gambaran kita tentang nge-cast pertama kali waktu itu. Sebelum kita pergi ke kantor Garena, aku kumpul di warnet sama Soapking. Setelah itu, kita nonton satu pertandingan, kemudian catet apa yang kira-kira pengen kita omongin terus kita datang ke kantor Garena untuk trial. Jadi, pas trial itu, kita udah siapkan pertandingan ini, terus kita nanti bahas poin-poin ini. Jadi bener-bener buta tentang ini.”
Memulai Karir Sebagai Shoutcaster
Beruntung, setelah trial hari itu Xiam Phu dan Soapking lolos dan harus menghadapi masa trial selanjutnya selama tiga bulan. Jika performa mereka kurang bagus, maka masa trial itu tidak akan diperpanjang.
Tentu bukan perkara mudah bagi Xiam Phu, apalagi shoutcasting dan game League of Legends adalah dua dunia yang baru baginya. Dalam masa trial tersebut, pengetahuan Xiamphuu mengenai dunia shoutcasting dan scene kompetitif League of Legends mulai bertambah seiring pertemuannya dengan orang-orang senior yang membimbingnya untuk memulai karirnya.
Mulai dari dasar-dasar shoutcaster dari Justincase dan Yota serta theorycrafting dari 8Ken, Xiam Phu juga belajar scene kompetitif League of Legends dari Tibold. Tidak hanya itu, Xiam Phu juga belajar tentang cara membuat kesimpulan analisa yang simpel dari Wolfy, kemudian yang terakhir, belajar toxic dari Bekti. Walaupun terdengar aneh, tapi menurut Xiam Phu, toxic juga merupakan salah satu hal yang penting sebagai shoutcaster.
Berbekal pelajaran tersebut, Xiam Phu memulai debut karirnya sebagai co-caster League of Legends di pertandingan turnamen King of Sea dimana turnamen yang menampilkan tim-tim papan atas dari berbagai negara se-Asia Tenggara.
Setelah debut pertamanya, Xiam Phu mulai dipercaya menjadi co-caster di turnamen lokal League of Legends Indonesia skala besar, yaitu LGS Spring dan Summer 2016. Namun hingga saat itu, Xiam Phu mengaku dirinya masih belum sempurna sebagai co-caster. Pada akhirnya, Xiam Phu merasa sudah jauh lebih baik dan percaya diri sebagai co-caster sejak saat dirinya mengisi pertandingan LGS Spring 2017 lalu.
Shoutcaster bagi Xiam Phu
Berdasarkan background yang ia miliki, tentu menjadi co-caster bukanlah hal yang mudah bagi Xiam Phu. Lantas mengapa ia memilih menjadi co-caster daripada main caster? Lalu bagaimana dirinya bisa menjadi co-caster sukses hingga saat ini?
Xiam Phu menuturkan bahwa co-caster adalah seseorang yang menjelaskan hal-hal penting yang mungkin harus dikemukakan atau ditunjukkan kepada viewers dan kenapa hal itu terjadi. Sementara main caster menurutnya adalah napas kehidupan dalam sebuah pertandingan.
Dengan kata lain, tugas main caster adalah untuk membuat sebuah atmosfer pertandingan terasa seru saat disaksikan. Alasan Xiam Phu memilih menjadi co-caster tidak lain karena saat pertama kali mengenal dunia shoutcaster dan scene esports, ia lebih suka menganalisa.
“Aku lebih tertarik untuk melakukan analisa. Ketika aku mendapat pengetahuan tentang caster, sesunggguhnya co-caster lah yang memang melakukan analisa.”
Jangan Pernah Bosan untuk Membaca dan Menonton Pertandingan
Agar dapat menganalisa dengan baik, jangan bosan untuk membaca dan nonton berbagai pertandingan turnamen. Selain itu, untuk menjadi co-caster, Xiam Phu juga mengemukakan beberapa pertanyaan dasar untuk memulai sebuah analisa.“Pertama mengapa pick champion pertama itu Thresh? Untuk menjawab hal itu, tentu harus tahu meta dan patch. Yang kedua, berapa kali Thresh dimainkan? win rate-nya berapa persen?”
Untuk gaya cast, Xiam Phu mengaku terinspirasi dari beberapa caster luar seperti MonteCristo dan Doa di League of Legends Championship Series (LCS). Meskipun kedua caster itu saat ini sudah tidak lagi menjadi caster di LCS, ada satu pertandingan yang sangat berkesan bagi Xiam Phu karena menurutnya pembahasan keduanya saat itu random tapi menarik. Di pertandingan itu, kedua caster tersebut membahas truk es krim zaman dahulu. Selain itu, kedua caster tersebut juga pernah membahas film jurassic world yang baru bakal keluar di tengah pertandingan.
Caster yang menginspirasi Xiam Phu selanjutnya adalah Jatt dan Deficio. Menurutnya, Jatt dan Deficio dapat menyampaikan analisanya dengan bahasa yang enak di telinga para penonton LCS yang merupakan anak-anak muda.
Low Tier Bukan Halangan Untuk Menjadi Co-Caster
Saat kami menanyakan apakah harus mencapai high-tier untuk menjadi Co-Caster, Xiam Phu menepis hal tersebut karena mendengar rumor Monte Cristo yang tidak pernah bermain League of Legends sama sekali, namun sukses menjadi caster. Xiam Phu tidak pernah mencari tahu kebenaran rumor tersebut, tapi rumor tersebut yang membuat ia percaya bahwa dirinya juga bisa sukses seperti mereka.
“Sebagai caster yang paling penting adalah pertama, mencari tahu tentang informasi scene esports game tersebut. Yang kedua, kamu harus rajin membaca patch, dan itu wajib banget. Karena apapun yang terjadi atau berubah dalam patch itu akan berpengaruh ke semuanya. Ketiga, nonton apa yang ada di luar karena kita di Indonesia, lebih mengikuti apa yang udah dibuat oleh orang luar. Itu semua karena orang di luar sana sudah lebih dulu mencoba dari pengalaman-pengalaman mereka. Orang di luar juga sudah memiliki manajemen tim yang lebih bagus.”
Co-Caster Harus Lihai Membaca Kondisi Pertandingan
Dengan peran yang berbeda, tentu porsi yang harus dibicarakan antara main caster dan co-caster harus seimbang.
Xiam Phu lebih melihat porsi co-caster ke dalam beberapa hal. Pertama, melihat kepentingan dari pertandingan tersebut. Misalnya jika pertandingan yang berlangsung sudah tidak berpengaruh apa-apa lagi pada kondisi turnamen, maka ia akan lebih banyak mengeluarkan jokes. Karena pertandingan tersebut mungkin tidak begitu menarik lagi untuk dibawa dengan serius.
Kedua, ada kalanya saat pertandingan sudah berlangsung 20-25 menit, namun baru terjadi dua kill atau malah tidak ada sama sekali. Hal tersebut sering terjadi umumnya di turnamen LCK. Pastinya saat itu sudah banyak hal yang dijelaskan, dan akan membuat penonton bosan jika diulangi lagi. Karena umumnya yang dilakukan oleh kedua tim hanya mengulangi hal yang sama sampai akhirnya mereka siap untuk fight atau mengambil objektif. Jadi saat itu ia bisa mengisi kekosongan dengan sedikit humor. Biasanya main caster sudah berinisiatif saat hal itu terjadi.
Partner Shoutcaster
Partner tetap saat shoutcast sebuah pertandingan tentu memiliki keuntungan menurut Xiam Phu. Dengan jam terbang yang sama, tentu akan saling tahu kebiasaan dan tentu membuat pembicaraan menjadi klop. Berbeda halnya jika berganti partner, pastinya dibutuhkan penyesuaian lagi. Namun, Xiam Phu tetap merasa enjoy jika dipasangkan dengan siapapun.
Baca juga: Wawancara Dimas “Dejet” Surya Rizki, Shoutcaster Dota 2 Indonesia