Mengapa Membuat Karakter Game Fighting Itu Sulit!

Mengapa Membuat Karakter Game Fighting Itu Sulit!

Estu P.W
Estu P.WAug 08, 2025

Sudah lihat Miary Zo di Tekken 8? Karakter baru ini langsung memicu perdebatan di komunitas. Dari satu sisi, desainnya terlihat kuat, punya gaya bertarung yang memadukan bela diri langka seperti Morengy dan kemungkinan elemen Diamanga, plus tema hewan yang membuatnya gesit dan berkarakter. Tapi di sisi lain, banyak yang melihatnya bukan sebagai inovasi, melainkan kolase dari karakter lama: wajah dan tubuh ala Christie yang lebih berotot, gerak-gerik yang mengingatkan pada Zafina dan Julia Chang serta beladiri yang mungkin mirip Josie Rizal. Hasilnya, Miary Zo terasa aman—nyaman untuk dikenali, tapi minim kejutan.

Fahkumram di Tekken 7 dan Tekken 8 bahkan lebih kentara. Ia adalah “Thai Boxer” yang tingginya seperti raksasa, tubuh penuh luka, kepala plontos, dan aura yang nyaris identik dengan Sagat dari Street Fighter. Bukan kebetulan jika banyak yang curiga desain ini lahir dari sisa konsep Tekken X Street Fighter. Bagi pengembang, mengambil bentuk yang sudah melekat di kepala gamer lalu mengemasnya ulang jauh lebih aman dibanding memulai dari nol.

Street Fighter juga sering memainkan kartu serupa. Luke di Street Fighter 6 dijual sebagai wajah baru franchise, tapi inti gameplay-nya adalah shoto modern: tembakan proyektil, anti-air standar, dan kombinasi rush yang sudah familiar. Rashid di Street Fighter V memang punya trik angin unik, tapi pondasi pergerakannya tetap mengambil pola karakter cepat dan lincah yang pernah ada. Di Mortal Kombat, Geras di MK11 adalah “penjaga waktu” yang sebenarnya versi baru dari arketipe brute force seperti Goro atau Shao Kahn. Bahkan karakter tamu seperti Terminator dan Rambo lebih terasa sebagai strategi marketing ketimbang dorongan kreatif.

Di balik semua ini ada alasan sederhana: membuat karakter fighting game yang benar-benar baru itu mahal, rumit, dan berisiko tinggi. Setiap animasi harus tepat frame-nya, hitbox dan hurtbox harus akurat, balancing harus konsisten bahkan setelah game rilis. Publisher besar seperti Bandai Namco, Capcom, atau NetherRealm Studios bekerja di bawah tekanan pasar dan komunitas yang tidak segan membantai karakter yang “terlalu aneh” atau “tidak cocok meta”.

Hasilnya, kreativitas sering dikorbankan demi keamanan komersial. Karakter baru cenderung lahir dari DNA lama yang sudah teruji, hanya diberi lapisan cat segar agar tampak berbeda. Pemain lama merasa nyaman karena masih mengenali pola, publisher senang karena risiko minimal, dan semua pihak bisa tidur nyenyak.

Masalahnya, zona nyaman ini perlahan membuat genre fighting game kehilangan kejutan yang dulu membuatnya meledak. Ketika setiap wajah baru terasa seperti bayangan wajah lama, sulit untuk tidak bertanya: apakah industri ini masih berani mengambil risiko, atau kita semua hanya bermain aman sambil menunggu keajaiban yang tak kunjung datang?

Events Collection

EXPLORE MORE