Selama beberapa tahun terakhir ini, kita sudah melihat banyaknya game yang tutup atau menghentikan layannya. Mau itu game PC seperti Anthem atau game mobile seperti Apex Legends Mobile, bahkan game buatan developer atau publisher besar pun bisa gulung tikar kapan saja.
Tidak hanya itu, tren internet juga membuat umur sebuah game selalu dipertanyakan. Misalnya sebuah game kehilangan banyak jumlah pemain, terjerat kontrovers, atau punya masalah smurf dan cheater. Seketika akan ada beberapa orang yang menganggap bahwa game tersebut akan mati.
Dota 2 sendiri juga sering mendapatkan anggapan yang sama. Tidak heran, karena jika dibandingkan dengan era sebelum pandemi Covid-19, jumlah pemain Dota 2 saat ini jelas menurun drastis. Selain itu banyaknya smurft dan sirkuit esports yang tidak seseru dulu ditambah dengan jumlah hadiah The International 2023 yang terus menurun membuat banyak yang mempertanyakan apakah game ini akan menghilang dalam waktu dekat?
Ketika Game yang Tidak Ramah Pemula Kehilangan Pemain
Dota 2 kehilangan pemain adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindarkan. MOBA adalah genre yang sulit menjaring pemain baru, dan Dota 2 adalah salah satu yang paling kompleks dan tidak ramah untuk pemula. Tutorialnya tidak mengajarkan banyak hal, dan untuk bisa benar-benar belajar kamu harus bermain dan mungkin dibantai berkali-kali.
Untungnya, Dota 2 sejak awal sudah punya playerbase yang cukup besar sejak Warcraft Dota. Selain itu game ini juga muncul ketika pasar esports dan gaming masih sedang berkembang.
Lalu esports berkembang pesat, dan Dota 2 jadi salah satu game yang mendapatkan spotlight. Turnamen diadakan di mana-mana, dan turnamen dunia The International selalu menjanjikan hadiah yang bombastis. Konten dalam game-nya pun selalu mendapatkan update, mulai dari sekadar hero baru hingga perombakan map hingga client baru yang menggunakan Source 2.
Tentu saja, pandemi kemudian membuat momentum esports sedikit terhambat, termasuk Dota 2. Tren gaming di seluruh dunia pun berubah. Game dan genre esports yang digandrungi bergeser, sementara game non-esports juga semakin populer.
Sementara itu pemain Dota 2 pun bertambah usia. Mereka yang sebelumnya bisa bermain setiap malam tidak lagi bisa bermain karena kewajiban seperti bekerja. Kalaupun ingin main game mereka tidak ingin stres dan menghabiskan waktu 60 menit untuk satu pertandingan Dota 2. Akhirnya banyak pemain yang berhenti, namun karena game-nya sendiri tidak ramah pemula jumlah pemain baru mungkin tidak banyak.
Tren esports yang menurun pun berimbas ke Dota 2. Meskipun selalu bisa menghadirkan prizepool The International yang bombastis berkat kehadiran Battle Pass, Dota 2 sendiri bukanlah esports yang menguntungkan. Banyak penyelenggara turanamen besar yang gagal mendapatkan profit dari turnamen Dota 2. Setelah menggunakan sistem DPC pun, tidak banyak waktu lowong agar penyelenggara bisa mengadakan turnamennya sendiri. Lalu Valve sendiri memutuskan untuk meniadakan Battle Pass untuk The International. Imbasnya turnamen tersebut tidak lagi memiliki hadiah puluhan juta dolar.
Nasib Sebuah Game Tidak Selalu Sama Dengan Esports-nya
Semua cerita di atas tentu membuat banyak orang merasa bahwa Dota 2 mengalami kemunduran yang signifikan. Ini jelas membuat banyak yang menganggap bahwa Dota 2 bisa saja akan mati dalam waktu dekat. Anggapan tersebut juga tidak salah karena ketika Valve mengumumkan akan meniadakan liga DPC, seperti apa nasib esports Dota 2 nantinya masih jadi tanda tanya besar.
Namun itu hanya menyinggung nasib Dota 2 sebagai sebuah esports, bukan sebagai sebuah game. Meskipun bersinggungan, keduanya tidak selalu punya nasib yang sama.
Hidup mati sebuah game sama sekali tidak bergantung pada nasib turnamen esports game tersebut. Faktor yang paling menentukan adalah apakah game tersebut mendatangkan profit atau tidak. Alasan game seperti Anthem tutup bukan karena game tersebut tidak punya scene esports, namun karena tidak bisa menjaring cukup pemain dan profit hingga untuk terus menghadirkan konten baru dan beroperasi.
Dota 2 sendiri juga sama. Memang, kalau dibandingkan dengan misalnya tahun 2016-2017, Dota 2 tidak lagi bisa bisa mendapatkan angka rata-rata 1 juta pemain setiap bulan. Namun per bulan ini, data Steam Charts memperlihatkan bahwa Dota 2 masih punya kurang lebih 700.000 pemain setiap bulannya. Memang, tidak ada yang tahu berapa di antara angka tersebut adalah smurf. Namun angka tersebut masih menempatkan Dota 2 sebagai game nomor dua paling ramai di Steam, kalah hanya dari CS2.
Tidak hanya itu, Valve sendiri sepertinya sadar bahwa mereka harus bisa mendapatkan uang dari pemain yang sudah ada. Karena itu mereka merilis Dota Plus untuk para pemain setia.
Sekali lagi, selama masih punya banyak pemain dan Valve bisa menjaring banyak uang dari pemain tersebut, Dota 2 masih akan bertahan hidup. Kalau dilihat tren-nya, sepertinya game ini tidak akan mati paling tidak sampai dua tahun ke depan, kecuali Valve dan Icefrog berkata lain.