Industri Film dan Game Tidak Lagi Sama: Dari Kreativitas ke Logika Pasar

Industri Film dan Game Tidak Lagi Sama: Dari Kreativitas ke Logika Pasar

Estu P.W
Estu P.WAgt 26, 2025

Industri hiburan global, khususnya film dan video game, mengalami pergeseran mendasar dalam dua dekade terakhir. Perubahan teknologi dan model bisnis memang membuka peluang baru, tetapi juga menghapus fondasi lama yang dulu menjadi penopang kebebasan kreatif. Kini, baik sineas maupun pengembang game menghadapi tantangan yang sama: bagaimana bertahan dalam sistem industri yang semakin menuntut profit instan, tetapi semakin sempit dalam memberi ruang untuk eksperimen.

Hilangnya “Pendapatan Kedua” di Film

Matt Damon pernah mengungkapkan bahwa era DVD memberi peluang besar bagi studio untuk berani mendanai film berisiko. Film yang tidak terlalu sukses di bioskop masih bisa mendapat “gelombang kedua” keuntungan melalui penjualan fisik. “Dulu kita punya DVD, dan itu bisa menutupi kerugian box office. Sekarang hal itu hilang,” kata Damon, seperti dikutip Bosshunting (bosshunting.com.au).

Model bisnis ini ambruk ketika DVD digantikan oleh streaming. Laporan Digital Content Next menyebut bahwa pendapatan dari platform digital “jauh lebih kecil dibandingkan penjualan DVD” dan belum mampu menggantikan arus kas yang dulu menopang film berbiaya menengah (digitalcontentnext.org). Dampaknya kini terasa: film Hollywood semakin terkonsentrasi pada franchise superhero, sekuel, dan formula aman. Ruang bagi film drama atau thriller beranggaran menengah semakin menyusut.

Game Modern: Hardware Maju, Visual Stagnan

Fenomena serupa juga terjadi di industri game. Secara teknologi, GPU saat ini mampu menampilkan grafis fotorealistik dengan resolusi hingga 8K. Namun di mata gamer, kualitas visual tidak berkembang sesuai ekspektasi. Diskusi panjang di forum daring memperlihatkan kekecewaan: game modern dianggap hanya “lebih berat dijalankan” tanpa menghadirkan lompatan visual berarti. “Saya tidak mengerti lagi arah grafis game zaman sekarang,” tulis seorang pengguna Reddit, yang mendapat ribuan dukungan komentar (reddit.com).

Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan bukan semata keterbatasan teknologi. Penelitian yang dipublikasikan di Amazonia Investiga menekankan bahwa kualitas visual justru ditentukan oleh koherensi desain: gaya estetika, antarmuka, dan konsistensi dunia permainan. Tanpa itu, grafis canggih hanya akan tampak seperti pameran teknologi yang hampa (amazoniainvestiga.info).

Akar Masalah: Model Bisnis, Bukan Teknologi

Ketika Matt Damon berbicara soal hilangnya “gelombang kedua” pendapatan dari DVD, ia sebenarnya sedang menyinggung akar masalah paling serius dalam industri hiburan: model bisnis yang rapuh. Perubahan teknologi distribusi dari DVD ke streaming tidak otomatis memperluas kesempatan. Sebaliknya, ia menciptakan jurang baru dalam pendapatan. Streaming memang memberi akses global, tetapi sistem bagi hasilnya membuat pembuat konten tidak lagi menikmati keuntungan langsung.

Sebuah laporan Digital Content Next menegaskan bahwa “pendapatan streaming tidak pernah bisa menyamai arus kas penjualan DVD,” terutama bagi film beranggaran menengah. Akibatnya, studio besar cenderung hanya menggelontorkan dana ke proyek yang bisa dipastikan menghasilkan hit global: film superhero, remake, dan sekuel. Dengan kata lain, risiko naratif ditukar dengan keamanan finansial.

Fenomena ini juga terlihat jelas di industri game. Sebuah studi di arXiv menguraikan bahwa kendala terbesar pengembang bukanlah keterbatasan teknologi, melainkan tekanan dari publisher dan investor. Siklus bisnis yang menuntut return of investment (ROI) secepat mungkin mendorong lahirnya tren sequelization (mengulang formula lama), microtransaction, dan live service yang bisa diperas terus-menerus dari basis pemain. Model seperti ini pada akhirnya mengorbankan inovasi gameplay dan gaya artistik.

Lebih jauh, dominasi pemodal membuat para kreator kehilangan kedaulatan terhadap karya mereka. Banyak pengembang game independen bersaksi bahwa publisher mendorong mereka untuk mengikuti tren pasar, entah itu battle royale, grafis hiperrealistis, atau sistem gacha, meskipun tidak cocok dengan konsep awal. Hal serupa dialami sutradara film, yang naskahnya kerap harus “dibengkokkan” agar cocok dengan demografi penonton global.

Dengan demikian, masalah utama industri film dan game saat ini bukanlah keterbatasan alat, melainkan logika kapital yang memaksa kreator tunduk pada algoritma profit. Teknologi berkembang pesat, tetapi keputusan bisnis justru semakin konservatif. Di sinilah letak paradoks: semakin besar potensi hiburan modern, semakin sempit pula ruang bagi eksperimen dan kebaruan.

Paradoks Kemajuan Hiburan

Di satu sisi, industri hiburan saat ini berada di puncak teknologi. Film dapat dibuat dengan efek visual yang lebih realistis dari sebelumnya. Game dapat menampilkan dunia virtual yang mendekati nyata. Namun di sisi lain, hilangnya model bisnis lama dan dominasi logika pasar membuat keberanian untuk bereksperimen semakin menurun.

Kritikus film maupun komunitas gamer sama-sama menyuarakan hal serupa: kita sedang hidup di era hiburan dengan kekuatan teknologi tanpa batas, tetapi dengan kreativitas yang semakin terbatasi. Paradoks inilah yang membuat banyak orang menilai, industri film dan game saat ini memang tidak lagi sama seperti masa lalu.

Koleksi Event

LIHAT SEMUA